Minggu, 18 November 2018

DEVALUASI


Apa itu devaluasi mata uang? Pengertian Devaluasi adalah suatu bentuk kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk menurunkan nilai mata uang lokal suatu negara terhadap nilai mata uang asing.
Secara singkat, devaluasi adalah keadaan dimana mata uang lokal memiliki kurs (baca: pengertian kurs) atau harga yang semakin murah secara internasional.
DEVALUASI
Keadaan devaluasi ini sangat berpengaruh terhadap perekonomian suatu negara, terutama pada kegiatan perdagangan internasional.
Tujuan Devaluasi Mata Uang
Setelah memahami pengertian devaluasi, tentunya kita juga perlu tahu apa tujuannya. Berikut ini adalah beberapa tujuan kebijakan devaluasi yang dilakukan oleh pemerintah:
·         Untuk meningkatkan ekspor dan menekan jumlah impor. Hal ini diharapkan akan memperbaiki Balance of Payment.
·         Untuk meningkatkan pemakaian produksi dalam negeri. Ini bisa dicapai bila barang impor harganya lebih mahal dari barang lokal.
·         Tercapainya kesetimbangan Balance of Payment, sehingga kurs mata uang asing menjadi relatif stabil.
Faktor Penyebab Devaluasi
Seperti yang telah dibahas secara singkat terkait pengertian devaluasi di atas, bahwasannya keadaan tersebut akan menyebabkan nilai tukar mata uang lokal menjadi lebih kecil. Kondisi ini dapat mempengaruhi kondisi perekonomian nasional dalam jangka pendek, menengah maupun jangka panjang.
Devaluasi sendiri sangat dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dimana kegiatan import menjadi faktor utama penyebabnya. Volume impor yang tinggi terhadap barang-barang dari luar negeri, terutama apabila tidak diimbangi dengan kegiatan ekspor yang cukup akan mengakibatkan semakin meningkatnya permintaan konversi nilai mata uang lokal menjadi mata uang asing, dari rupiah ke dollar misalnya.
Jika permintaan tersebut semakin tinggi, maka kurs beli dollar akan naik dan nilai rupiah semakin turun yang juga berdampak pada terjadinya inflasi. Oleh sebab itu, kebijakan devaluasi dikeluarkan oleh pemerintah sebagai salah satu bentuk penanggulangan untuk menstabilkan perekonomian suatu negara.
Secara ringkas berikut ini adalah penyebab devaluasi mata uang:
·         Kegiatan impor yang tinggi (bahan pokok, elektronik, dan kebutuhan lainnya)
·         Kegiatan ekspor hanya pada bahan pangan dan biota laut
·         Tingginya tingkat pengangguran di suatu negara
Dampak Devaluasi Terhadap Ekspor-Impor
Perdangangan internasional merupakan bidang yang memiliki hubungan paling erat terhadap nilai mata uang. Penurunan atau kenaikan nilai mata uang suatu negara akan berdampak pada sedikit banyaknya volume ekspor-impor.
Adapun dampak devaluasi terhadap bisnis ekspor maupun impor yaitu:
1. Berkurangnya Volume Impor
Devaluasi menyebabkan harga barang luar negeri semakin mahal sehingga masyarakat akan semakin kesulitan dan terbebani untuk membelinya. Hal tersebut secara bertahap akan mengubah pola pikir masyarakat untuk membeli barang dalam negeri sehingga volume impor semakin berkurang.
Di sisi lain, penggunaan barang lokal akan semakin meningkat yang nantinya dapat mempengaruhi pendapatan perkapita suatu negara.
2. Bertambahnya Volume Ekspor
Jika nilai mata uang lokal rendah di dunia internasional, harga barang lokal juga akan dirasa murah oleh warga asing. Hal ini akan mendorong permintaan barang oleh masyarakat luar negeri sehingga volume ekpor dapat bertambah.
Peningkatan ekspor dapat meningkatkan jumlah peredaran mata uang asing seperti dollar dalam suatu negara sehingga dapat memperbaiki posisi BOP (balance of payment) dan BOT (balance of trade).
3. Barang Lokal semakin Bersaing
Kondisi devaluasi dapat menjadi salah satu batu loncatan pengusaha lokal untuk bersaing di pasar internasional. Barang lokal yang ditawarkan kepada masyarakat luar negeri akan semakin beragam.
Bahkan harga barang lokal yang dianggap murah di luar negeri mengubah pola pikir masyarakat asing sehingga mereka lebih memilih barang impor yang murah daripada barang lokal mereka yang cenderung lebih mahal. Selain itu, keadaan tersebut juga akan menyebabkan pengusaha lokal di luar negeri menurunkan harganya.
4. Meningkatnya Devisa
Ketidakseimbangan kegiatan ekspor-impor dimana volume ekspor lebih tinggi dibandingkan volume impor akan memberi keuntungan dalam perdagangan internasional sehingga cadangan devisa meningkat.
Cadangan devisa tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan maupun mendirikan suatu perusahaan yang dapat mennyediakan lapangan kerja untuk mengurangi pengangguran.
Contoh Devaluasi di Indonesia
Pemerintah Indonesia sendiri pernah melakukan kebijakan devaluasi mata uang beberapa kali. Seperti pada penjelasan di atas, devaluasi dilakukan pemerintah sebagai salah satu upaya untuk menstabilkan perekonomian negara.
Namun, perlu diketahui bahwa kondisi ini juga memiliki dampak negatif dalam jangka pendek seperti adanya peningkatan harga barang lokal karena semakin banyaknya permintaan. Selain itu, warga lokal yang memiliki hutang luar negeri akan semakin bertambah nilainya.
Berikut ini adalah beberapa contoh kebijakan devaluasi yang pernah dilakukan pemerintah Indonesia:
1. Kebijakan Devaluasi Pada 30 Maret 1950
Pemerintahan Presiden Sukarno, melalui menkeu Syafrudin Prawiranegara (Masyumi, Kabinet Hatta RIS) pada 30 Maret 1950 melakukan devaluasi dengan penggutingan uang. Syafrudin Prawiranegara menggunting uang kertas bernilai Rp 5 ke atas, sehingga nilainya berkurang separuh. Tindakan ini dikenal sebagai “Gunting Syafrudin”.  sumber Wikipedia
2. Kebijakan Devaluasi Pada 24 Agustus 1959
Pemerintahan Presiden Sukarno melalui Menteri Keuangan yang dirangkap oleh Menteri Pertama Djuanda menurunkan nilai mata uang Rp 10.000 yang bergambar gajah dan Rp 5.000 yang bergambar macan, diturunkan nilainya hanya jadi Rp 100 dan Rp 50. sumber Wikipedia
3. Kebijakan Devaluasi 21 Agustus 1971
Masa pemerintahan Presiden Suharto (Orde Baru) melalui Menkeu Ali Wardhana. AS pada 15 Agustus 1971 harus menghentikan pertukaran dollar dengan emas. Presiden Nixon cemas dengan terkurasnya cadangan emas AS jika dollar dibolehkan terus ditukar emas, sedang nilai waktu itu US$ 34.00 sudah bisa membeli 1 onz emas. Soeharto tidak bisa mengelak dari dampak gebrakan Nixon dan Indonesia mendevaluasi Rupiah pada 21 Agustus 1971 dari Rp. 378 menjadi Rp. 415 per 1 US$. sumber Wikipedia
4. Kebijakan Devaluasi 15 November 1978
Masa Pemerintahan Presiden Suharto melalui Menkeu Ali Wardhana. Walaupun Indonesia mendapat rezeki kenaikan harga minyak akibat Perang Arab – Israel 1973, tetapi Pertamina justru nyaris bangkrut dengan utang US$ 10 milyar dan Ibnu Sutowo dipecat pada 1976. Tetap tidak bisa dihindari devaluasi kedua oleh Soeharto pada 15 November 1978 dari Rp. 415 menjadi Rp. 625 per 1 US$. sumber Wikipedia
5. Kebijakan Devaluasi 30 Maret 1983
Masa Pemerintahan Presiden Suharto melalui Menkeu Radius Prawiro. Pada saat itu Menkeu Radius Prawiro mendevaluasi rupiah 48% jadi hampir sama dengan menggunting nilai separuh. Kurs 1 dolar AS naik dari Rp 702,50 menjadi Rp 970. sumber Wikipedia
Demikianlah penjelasan mengenai pengertian devaluasi, tujuan devaluasi, faktor penyebab devaluasi, dan contoh kebijakan devaluasi di Indonesia. Semoga bermanfaat.


REVALUASI


Apa itu revaluasi? Pengertian Revaluasi adalah suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk meningkatkan nilai mata uang dalam negeri (Rupiah) terhadap mata uang asing. Revaluasi bisa terjadi karena adanya kebijakan pemerintah untuk memperbaiki perekonomian. Dengan kata lain, ada intervensi yang dilakukan oleh pemerintah untuk menjaga nilai mata uang dalam negeri tetap stabil.
Secara umum mungkin dengan kebijakan revaluasi menandakan bahwa perekonomian negara semakin membaik. Namun dari sisi lain, kebijakan revaluasi bisa memberikan dampak positif dan juga negatif pada ekonomi masyarakat terutama pada bisnis yang menggeluti sektor ekspor-impor.
Singkatnya revaluasi dapat berdampak pada nilai tukar rupiah sehingga mempengaruhi besaran harga yang harus dibayarkan atau diterima oleh pebisnis ekspor-impor. Lebih dalam tentang pengaruh kebijakan revaluasi terhadap bisnis ekspor impor akan dibahas dalam artikel ini.
REVALUASI
Mengacu pada pengertian revaluasi, mungkin bagi masyarakat awam perubahan nilai tukar rupiah sebesar Rp 100 tidak berarti apa-apa, dengan kata lain dampaknya tidak terlalu dirasakan.
Namun, perubahan nilai tukar rupiah walaupun hanya dengan kenaikan Rp100 saja dapat mempengaruhi total belanja negara ke luar negeri menjadi lebih hemat sekitar Rp600 milyar. Sehingga kebijakan revaluasi umumnya dirasakan oleh para pebisnis yang bekerja pada bidang ekspor-impor karena melibatkan nilai tukar rupiah.
Berikut beberapa studi kasus pengaruh revaluasi terhadap bisnis:
1. Kasus Impor
Jika Anda memiliki perusahaan yang membutuhkan bahan baku produksi dari luar negeri, maka Anda akan diuntungkan dengan adanya kebijakan revaluasi. Misalnya jika biasanya Anda membeli bahan baku dengan harga $1.000 dengan nilai tukar rupiah saat itu adalah Rp 12.000, Anda perlu mengeluarkan uang sebesar Rp 12 juta.
Namun jika terjadi revaluasi dan nilai tukar menguat menjadi Rp 11.000, maka uang yang Anda keluarkan untuk impor berkurang menjadi Rp 11 juta. Sehingga pada kasus importir, kebijakan revaluasi bisa dibilang menguntungkan.
2. Kasus Ekspor
Jika dampak revaluasi terhadap impor memberikan pengaruh positif, pada kasus ekspor justru dapat memberikan dampak negatif. Ketika Anda menjual produk bisnis ke luar negeri dengan harga produk sebesar Rp 12 juta dengan nilai tukar awalnya sebesar Rp 12.000, maka Anda akan menerima uang dollar sebesar $1.000.
Namun, jika terjadi kebijakan revaluasi, uang dollar yang Anda terima pada nilai tukar Rp 11.000 akan lebih kurang dari $1000. Tentu saja ini akan merugikan perusahaan karena produk yang dijual menjadi turun harga jualnya di mata asing.
3. Kasus Saham
Jika dilihat dari pengertian revaluasi di atas, pengaruhnya tidak hanya dirasakan pada bisnis ekspor impor saja. Kebijakan revaluasi juga mempengaruhi nilai tukar rupiah terhadap harga saham perusahaan. Namun pada kasus harga saham, nilai tukar rupiah tidak memberikan dampak secara langsung.
Revaluasi dapat memberikan pengaruh positif bagi para pemilik saham jika dilihat pada jangka waktu tertentu. Sehingga jika Anda ingin mengambil keputusan dalam trader, tidak bisa menggunakan informasi nilai tukar rupiah dalam satu hari saja.
Dampak Positif dan Negatif Revaluasi
Sebenarnya, kebijakan revaluasi dibuat untuk kepentingan ekonomi negara dalam jangka panjang. Jika nilai rupiah di Indonesia cukup stabil dalam jangka waktu yang lama, hal itu menandakan pertumbuhan ekonomi negara semakin membaik. Ditambah lagi pada neraca perdagangan bisa dikatakan surplus atau defisit juga tergantung dari nilai tukar rupiah.
Namun, di sisi lain revaluasi juga bisa memberikan dampak negatif, khususnya bagi para pebisnis. Kebijakan revaluasi akan berdampak pada daya saing dan keuntungan para pengusaha di dalam negeri yang melakukan kegiatan ekspor-impor.
Dengan adanya revaluasi, maka hal ini akan membuat harga barang-barang lokal menjadi lebih murah di pasar internasional. Akibatnya, para pengusaha lokal akan mendapat tekanan untuk meningkatkan produktivitas, melakukan kegiatan promosi barang lebih besar agar bisa bersaing di pasar internasional, serta menurunkan harga barang.
Contoh Revaluasi
Berikut ini adalah ilustrasi contoh revaluasi dan dampaknya pada para pengusaha di dalam negeri.
Sebuah perusahaan garmen di Indonesia dengan merk Makmur Jaya merupakan pengekspor kain ke berbagai negara di Eropa. Semua transaksi mereka menggunakan mata uang USD.
·         Pada bulan januari 2011 nilai tukar USD 1 = Rp8500,-
·         Di bulan maret 2011, pemerintah Indonesia mengambil kebijakan revaluasi sehingga nilai tukar USD1 = Rp7000,-
Pada bulan januari 2011, jika negara A ingin membeli produk perusahaan Makmur Jaya senilai Rp1.000.000,- maka negara A harus membayar Rp1.000.000 x (USD1/Rp8500) = USD 117.647.
Namun, setelah adanya kebijakan revaluasi, maka nilai transaksi tersebut berubah menjadi Rp1.000.000 x (US$1/Rp7000) = USD142,857.
Dari ilustrasi tersebut kita dapat melihat bahwa barang-barang ekspor menjadi lebih mahal setelah adanya kebijakan revaluasi. Dan sebaliknya, jika perusahaan Makmur Jaya melakukan impor produk garmen, maka nilai transaksi menjadi lebih murah setelah adanya kebijakan revaluasi.
Di atas tadi adalah ulasan singkat tentang pengertian revaluasi dan pengaruhnya terhadap bisnis. Dapat disimpulkan bahwa kebijakan revaluasi bisa memberikan dampak positif dan juga negatif bagi bisnis.


DEFLASI


Apa itu deflasi? Pengertian deflasi adalah sebuah fenomena dimana harga-harga barang mengalami penurunan secara terus-menerus dalam periode yang relatif singkat. Selain harga barang yang turun, biasanya deflasi juga akan diikuti oleh turunnya upah tenaga kerja.
Deflasi merupakan kebalikan dari inflasi. Inflasi merupakan kondisi dimana peredaran mata uang di pasar terlalu tinggi, sedangkan deflasi adalah kebalikannya dimana peredaran mata uang sangat minim sehingga menyebabkan penurunan harga jual besar-besaran.
Sekilas, mungkin masyarakat akan beranggapan bahwa kondisi deflasi cenderung menguntungkan karena banyak hasil produksi yang dijual dengan harga sangat miring. Padahal jika dilihat dalam sudut pandang ekonomi secara lebih luas, deflasi bisa menyebabkan kekacauan ekonomi terutama dalam bisnis.
Faktor penyebab deflasi dan dampak deflasi dalam bisnis akan dibahas lebih dalam pada artikel ini.
DEFLASI
Perekonomian secara global memang tidak bisa terlepas dari berbagai permasalahan yang berpengaruh langsung terhadap kelangsungan hidup manusia. Tak terkecuali dengan adanya kondisi deflasi di suatu negara.
Adanya deflasi menyebabkan permintaan tinggi terhadap mata uang sehingga nilai mata uang sangat menguat. Berikut beberapa faktor penyebab terjadinya deflasi:
1. Peraturan dari Pemerintah atau Bank Sentral
Mengacu pada pengertian deflasi dimana terjadi defisit peredaran uang, peraturan dari Pemerintah dan Bank Sentral bisa menjadi penyebab utamanya.
Seperti yang pernah terjadi di Spanyol, Pemerintah secara besar-besaran menggalangkan program penghematan biaya yang justru berakibat terjadinya deflasi. Kebijakan pemerintah dengan mentiadakan pajak barang dan jasa juga bisa menjadi penyebab deflasi.
2. Terlalu Banyak Hasil Produksi yang Sama
Jika banyak perusahaan yang menghasilkan produk barang atau jasa yang sama, alhasil akan meningkatkan persaingan untuk mendapatkan konsumen melalui penekanan harga jual. Hal tersebut bertujuan untuk memenangkan persaingan.
3. Penurunan Permintaan Terhadap Hasil Produksi
Banyak bisnis atau perusahaan yang menghasilkan produk tertentu namun tidak memperhitungkan secara tepat kuantitas hasil produksi. Sehingga jika terlalu banyak produksi yang tidak diiringi dengan peningkatan permintaan masyarakat terhadap produk tersebut akan berakibat barang yang tidak laku dijual.
Dampak Deflasi Terhadap Bisnis
Seperti yang sudah dijelaskan dari pengertian deflasi diatas, deflasi bisa berpengaruh secara langsung terhadap kelangsungan bisnis yang sedang Anda jalankan. Beberapa dampak tersebut bisa menjadi dampak positif maupun negatif.
Berikut dampak deflasi:
1. Dampak Positif Deflasi
·         Menguatnya nilai mata uang
·         Timbulnya kesadaran masyarakat akan pentingnya menabung untuk memenuhi kebutuhan di masa depan
·         Konsumen cenderung lebih berhemat dalam berbelanja
2. Dampak Negatif Deflasi
·         Menurunnya Pendapatan Sektor Bisnis
Kondisi deflasi pada suatu negara menyebabkan banyak pelaku bisnis yang berlomba-lomba untuk meneka harga jual demi menarik minat konsumen.
Hal ini berakibat pada pemerosotan keuntungan bisnis dan jika kondisi tersebut terus dibiarkan akan memaksa bisnis untuk menghentikan aktivitasnya karena tidak ada biaya produksi.
·         PHK Besar-Besaran
Dari pengertian deflasi dan penyebabnya sudah dikatakan bahwa terjadi peningkatan hasil produksi namun tidak diiringi dengan peningkatan permintaan masyarakat.
Perusahaan yang merugi akibat keuntungan yang rendah akan memutuskan untuk melakukan PHK besar-besaran terhadap karyawannya untuk mengurangi pengeluaran gaji tenaga kerja.
·         Investasi dan Harga Saham Menurun
Jika bisnis terus mengalami kerugian akibat deflasi, maka para investor akan menarik kembali modalnya karena khawatir tidak akan mendapatkan keuntungan. Tentu hal ini sangat tidak baik bagi kelangsungan bisnis Anda.
Upaya Mengatasi Deflasi
Fenomena deflasi tidak boleh dianggap sepele karena bisa membuat roda ekonomi akan terhambat. Deflasi bisa diatasi dengan melakukan beberapa cara, diantaranya:
1. Menurunkan Tingkat Suku Bunga
Salah satu cara untuk mengatasi deflasi adalah dengan menurunkan tingkat suku bunga. Dengan begitu maka jumlah uang yang beredar di masyarakat akan semakin bertambah.
Masyarakat akan lebih memilih untuk memegang uang sendiri ketimbang menyimpannya di Bank. Dengan banyaknya peredaran uang di masyarakat diharapkan hal ini akan meningkatkan jumlah pembelian barang.
2. Menerapkan Kebijakan Moneter
Cara berikutnya untuk mengatasi deflasi adalah dengan menerapkan kebijakan moneter. Kebijakan ini merupakan kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Sentral yang bertujuan untuk meningkatkan jumlah peredaran uang di masyarakat.
Kebijakan moneter ini akan memberlakukan polotik diskonto, yaitu kebijakan yang menurunkan tingkat suku bunga yang ada sehingga masyarakat memilih untuk menarik uangnya dari Bank.
3. Menerapkan Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal juga dapat dilakukan untuk mengatasi deflasi yang terjadi. Apa itu kebijakan fiskal?
Jika kebijakan moneter diberlakukan oleh pihak bank, maka kebijakan fiskal ini diberlakukan oleh pihak pemerintah.
4. Menerapkan Kebijakan Non-Moneter
Kebijakan non-moneter disebut-sebut sebagai cara yang paling efektif untuk mengatasi masalah deflasi. Di dalam kebijakan non-moneter ini terdapat beberapa langkah petning yang akan meningkatkan jumlah uang yang beredar di masyarkat.
Pada kondisi deflasi, pemerintah dan bank sentral berpengaruh besar untuk memperbaiki kondisi ini. Salah satunya dengan menurunkan tingkat suku bunga pinjaman,  menurunkan nilai pajak dan menaikan nilai upah minimum masyarakat.
Antisipasi yang bisa dilakukan perusahaan sendiri adalah dengan mengurangi hasil produksi dan memiliki inovatif untuk menghasil produk yang berbeda dengan pesaing demi menarik minat konsumen.
Demikianlah penjelasan singkat mengenai pengertian deflasi dalam ekonomi, penyebab, dampak, dan cara mengatasinya. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan.


Minggu, 11 November 2018

INFLASI


Inflasi di Indonesia (Indeks Harga Konsumen)
Secara historis, tingkat dan volatilitas inflasi Indonesia lebih tinggi dibanding dengan negara-negara berkembang lain. Sementara negara-negara berkembang lain mengalami tingkat inflasi di antara 3 - 5 persen per tahun pada periode 2005 - 2014, Indonesia memiliki rata-rata tingkat inflasi tahunan sekitar 8,5 persen dalam periode yang sama. Baru mulai dari tahun 2015 inflasi di Indonesia boleh dikatakan terkendali. Di bawah ini kami mendiskusikan mengapa tingkat inflasi Indonesia agak tinggi (dibanding negara berkembang lain dan negara maju), menyediakan analisis mengenai perkembangan terbaru, dan memberikan proyeksi untuk inflasi masa mendatang di Indonesia.Hubungan antara Puncak-Puncak Inflasi dan Penyesuaian Harga-Harga yang Ditetapkan Pemerintah
Puncak-puncak dalam volatilitas inflasi Indonesia berkolerasi dengan penyesuaian harga-harga yang ditetapkan pemerintah. Harga-harga energi (bahan bakar dan listrik) ditetapkan oleh Pemerintah dan karenanya tidak bergerak sesuai dengan kondisi pasar, berarti defisit yang dihasilkannya harus diserap oleh Pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pertamina dan Perusahaan Listrik Negara(PLN). Program yang berumur beberapa dekade ini menempatkan tekanan yang serius pada neraca Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan juga membatasi belanja publik untuk proyek-proyek berjangka panjang dan produktif, seperti pembangunan infrastruktur atau pembangunan sosial. Namun, sejak Joko Widodo jadi kepala negara ini, pemerintah Indonesia dengan sukses berhasil untuk mengurangi pendanaan subsidi energi dan meningkatkan alokasi dana untuk pembangunan infrastruktur dan pembangunan sosial.
Jokowi sadar akan pentingnya untuk menerapkan langkah reformasi yang tidak populer segera setelah menjadi Presiden Indonesia (yang ke-tujuh). Soalnya, semakin lama penundaannya, semakin rendah kemungkinannya akan terpilih kembali dalam pemilihan berikutnya (karena membutuhkan waktu untuk pulih dari langkah-langkah reformasi). Pada November 2014, hampir satu bulan setelah menjabat, Jokowi memotong subsidi BBM sebesar 31 persen untuk premium dan 36 persen untuk solar. Namun keputusan ini hanya mengakibatkan protes yang sedikit saja. Kenapa? Karena waktu Jokowi memotong subsidi BBM harga minyak mentah global sangat rendah. Bahkan begitu rendah sehingga harga premium dan solar bersubsidi turun (!) setelah pemotongan subsidi BBM. Jatuhnya yang dramatis harga minyak mentah global yang dimulai pada bulan Agustus 2014 dalam kombinasinya dengan harga BBM bersubsidi yang tidak berubah sesuai dengan harga pasar mengakibatkan sebuah situasi paradoksal yaitu: pembeli BBM bersubsidi mensubsidi pemerintah karena harga BBM bersubsidi telah menjadi lebih mahal daripada harga pasar.
Namun meskipun harga minyak global rendah, keputusan untuk memotong subsidi BBM pada akhir 2014 mendorong laju inflasi bulanan Indonesia menjadi 1,50 persen dan 2,46 persen pada bulan November dan Desember 2014, masing-masing. Tingkat inflasi bulanan yang sangat tinggi ini bisa saja mendorong sebagian penduduk yang hidup sedikit di atas garis kemiskinan jatuh di bawah garisnya itu. Oleh karena itu, diperlukan program bantuan sosial pemerintah yang tepat sasaran untuk mencegah peningkatan kemiskinan.
Subsidi Energi Indonesia:
Tahun
Subsidi Bahan Bakar Minyak
Subsidi Listrik
2017
                    47.0
         50.6
2016
                    43.7
         63.1
2015
                    64.7
         73.1
2014
                   246.5
        103.8
2013
                   210.0
         99.9
2012
                   211.9
         94.6
2011
                   165.2
         90.4
2010
                    82.4
         57.6
2009
                    45.0
         49.5
2008
                   139.1
         83.9
2007
                    83.8
         33.1
2006
                    64.2
         30.4
2005
                    95.6
          8.9
2004
                    69.0
          2.3
dalam trilyun rupiah
Karena harga minyak global terus menurun ke posisi sangat rendah pada tahun 2015 dan 2016, pemerintah Indonesia mampu memangkas lebih lanjut belanja subsidi energi pada tahun 2016. Sementara itu, pemerintah juga memperkenalkan formula harga baru untuk harga BBM bersubsidi, yang didasarkan pada harga minyak internasional dan akan disesuaikan setiap kuartal, sehingga membuat harga BBM bersubsidi Indonesia jauh lebih sesuai dengan gerakan harga minyak internasional dan oleh karena itu menurunkan tekanan pada anggaran pemerintah.
Namun, dalam kenyataannya pemerintah telah menahan diri dari merevisi harga BBM bersubsidi sejak April 2016 meskipun harga minyak mengalami rebound (sejak awal 2016) dan yang sekarang menyebabkan tekanan baru pada neraca anggaran pemerintah. Motif di balik ini adalah politik. Karena pemilihan lokal diselenggarakan pada tahun 2018, diikuti oleh pemilihan legislatif dan pemilihan presiden pada tahun 2019, pemerintah pada saat ini tidak tertarik untuk menerapkan keputusan yang tidak populer (misalnya menaikan harga BBM bersubsidi) karena itu dapat membahayakan kemenangan di pemilu untuk partai-partai dan wajah-wajah yang berkuasa sekarang. Bahkan, pemerintah Indonesia telah mengkonfirmasi bahwa harga BBM bersubsidi dan harga listrik bersubsidi tidak akan dinaikkan hingga akhir tahun 2019, yang menyiratkan bahwa pemerintah perlu menambah lebih banyak dana untuk anggaran subsidi energi pada tahun 2018 dan 2019.
Sebelum Jokowi melakukan reformasi harga energi bersubsidi, beberapa lembaga internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia terus mengkritik kebijakan subsidi energi pemerintah Indonesia karena menyediakan bahan bakar dan listrik yang murah kepada penduduknya mempunyai beberapa konsekuensi negatif:
 Subsidi energi menyebabkan kelemahan finansial, terutama setelah Indonesia berubah menjadi importir minyak mulai pada tahun 2000an. Sebenarnya, kebijakan ini tidak mungkin dilanjutkan terus karena pada suatu saat di masa depan cadangan minyak akan habis maka pemerintah perlu menaikkan harga-harga bersubsidi ini. Dengan menunggu lebih lama, dampak negatifnya bisa menjadi lebih parah.
 Mendanai subsidi energi membatasi belanja pemerintah di sektor yang lebih produktif seperti infrastruktur dan pembangunan sosial (pada kenyataannya BBM murah mendukung penjualan mobil nasional dan dengan infrastruktur yang sebagian besar tidak memadai itu mengakibatkan kemacetan lalu lintas yang semakin berat di kota-kota besar di Indonesia).
 Subsidi energi mendistorsi ekonomi nasional karena membuat-buat harga-harga rendah (secara "artifisial"). Karena harga sebagian besar produk dan layanan dipengaruhi biaya BBM, ini menyiratkan bahwa sebagian besar harga barang dan layanan di Indonesia lebih rendah daripada seharusnya. Meskipun ini ada keuntungan jangka pendek (dalam hal daya saing dan dalam hal pemberantasan kemiskinan), ini adalah bom waktu yang akan meledak di depan.
 Kebijakan itu salah sasaran karena terutama kelas menengah (dan elit) yang diuntungkan dengan harga BBM bersubsidi yang murah, bukan segmen masyarakat Indonesia yang lebih miskin (yang sebenarnya sasarannya).

Masyarakat Indonesia menjadi kecanduan pada subsidi energi Pemerintah, terutama BBM yang murah. Ini berarti bahwa usaha-usaha untuk mengatur kembali subsidi energi mengimplikasikan risiko-risiko politik untuk elit yang berkuasa karena kegelisahan politik (demonstrasi) muncul yang disebabkan oleh (ancaman dari) tekanan inflasi yang meningkat.
Salah satu karakteristik Indonesia adalah sejumlah besar penduduknya termasuk dalam kelompok yang hidup sedikit di atas garis kemiskinan, yang berarti bahwa shock inflasi yang relatif kecil bisa mendorong mereka ke bawah garis kemiskinan itu. Selain itu, rencana kabinet untuk memangkas subsidi energi memungkinkan ruang untuk kritik dari musuh-musuh politik karena mereka dapat menggunakan keinginan masyarakat untuk memiliki akses ke BBM murah untuk kepentingan politik mereka. Di Indonesia banyak orang tergolong "pemilih ayunan" karena banyak yang tidak berafiliasi dengan partai politik tertentu, sehingga pemilih cenderung cepat mengalihkan dukungan ke partai politik lain.
Subsidi BBM di bawah Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014)
Bagaimana subsidi energi ditangani di bawah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)? Pelajaran pertama yang bisa kita petik dari reformasi subsidi energi di era SBY yaitu bahwa keputusan yang (ter)lambat oleh pihak berwenang dapat menyebabkan inflasi yang tinggi, sementara di era ini ada juga contoh menarik tentang bagaimana harga BBM bersubsidi jadi dipolitisasi.
Pada akhir tahun 2005, setelah berjabat sekitar satu tahun, pemerintahan SBY memutuskan untuk memangkas subsidi BBM lewat peningkatan harga BBM subsidi lebih dari dua kali lipat. Keputusan ini dilakukan karena harga minyak internasional meningkat pesat di antara tahun 2002 dan 2006. Namun, karena perselisihan signifikan antara harga pasar (yang sebenarnya) dan harga BBM bersubsidi di Indonesia, langkah ini segera menyebabkan inflasi menyentuh dua digit - antara 14 dan 19 persen (tahun ke tahun) - hingga Oktober 2006. Sementara itu, inflasi inti - yang mengecualikan barang-barang yang rentan terhadap volatilitas harga sementara yaitu harga makanan dan harga yang ditetapkan pemerintah (administered prices) - juga volatile karena efek putaran kedua penyesuaian harga energi yang masuk ke ekonomi yang lebih luas (melalui meningkatnya biaya transportasi). Maka respon yang lambat oleh pihak berwenang untuk menaikkan harga BBM bersubsidi dapat menyebabkan inflasi yang jauh lebih tinggi dari yang seharusnya dan bisa mendorong banyak orang ke dalam kemiskinan penuh (jika tidak disertai dengan program bantuan sosial pemerintah).
Karena harga minyak internasional terus naik - menyentuh rekor tertinggi pada Juni 2008 - dan oleh karena itu pemerintahan SBY membutuhkan dana besar untuk menjaga harga BBM bersubsidi pada tingkat yang sebenarnya setengah dari harga pasar, pemotongan subsidi BBM diperlukan lagi. Masalah lain yang timbul yaitu BBM murah telah membantu meningkatkan penjualan mobil ke rekor tertinggi dan karena itu permintaan BBM subsidi terus meningkat. Keputusan SBY untuk menaikkan harga BBM bersubsidi pada tahun 2008 disambut dengan demonstrasi-demonstrasi. Namun, pada 2009, ketika harga minyak internasional menurun selama krisis keuangan global, SBY memangkas harga bahan bakar bersubsidi lagi. Namun, satu tahun kemudian (pada 2009), SBY mengubah arah saat harga minyak internasional turun drastis selama krisis keuangan global. SBY memutuskan untuk memangkas harga BBM bersubsidi di Indonesia, sebuah tindakan yang disukai rakyat. Selain karena harga minyak internasional yang turun secara signifikan, diasumsikan bahwa SBY juga senang menurunkan harga BBM bersubsidi menjelang pemilihan 2009 karena pasti akan meningkatkan kemungkinan untuk terpilih kembali sebagai kepala negara.

Waktu harga minyak internasional melonjak kembali antara tahun 2009 dan 2012 (karena munculnya kekhawatiran besar terhadap ekspor Iran) dan mengakibatkan membengkaknya defisit anggaran, pemerintahan SBY (sekarang dalam masa jabatan yang kedua) hendak menaikkan harga BBM bersubsidi lagi. Namun, beberapa partai politik yang terkemuka menentang rencana tersebut. Kendala utama adalah Golkar, partai politik terbesar kedua di Indonesia waktu itu dan bagian dari koalisi yang berkuasa di pemerintahan SBY. Awalnya Golkar mendukung kenaikan harga BBM bersubsidi, namun tiba-tiba berubah pikiran dan menolak kenaikan tersebut setelah melihat banyak demonstrasi di jalan-jalan di Indonesia. Perubahan pikiran dari Golkar itu hanya berdasarkan pada perolehan dukungan rakyat jangka pendek, sementara mengabaikan efek jangka positif panjang. Oleh karena itu, rencana menaikkan harga BBM ditunda.
Tetapi ketika defisit anggaran pemerintah hampir melampaui batas maksimum 3 persen dari PDB di tengah tingginya harga minyak dunia dan subsidi BBM pemerintah pada tahun 2013, pemerintahan SBY kembali memutuskan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi. Pada Juni 2013, harga premium naik 44 persen menjadi Rp 6.500 per liter, sedangkan solar naik 22 persen menjadi Rp 5.500 per liter. Langkah ini memicu protes rakyat dan juga diterapkan pada waktu yang salah sekitar satu tahun sebelum pemilihan legislatif (dalam pemilu legislatif 2014 dukungan rakyat kepada partai SBY jatuh drastis tetapi harus diinformasikan bahwa penurunan ini juga merupakan hasil dari beberapa skandal korupsi besar yang muncul di partai PD serta faktanya bahwa SBY sendiri tidak bisa berpartisipasi dalam pemilu presiden 2014 karena masa jabatan presiden dibatasi hanya dua periode).
Untuk mendukung segmen masyarakat yang miskin, pemerintah melanjutkan program pemberian uang tunai langsung. Namun, inflasi naik menjadi 8,4 persen pada akhir tahun 2014.
Tingkat Inflasi Indonesia (perubahan % tahunan pada indeks harga konsumen):

Tetapi meskipun kenaikan harga BBM bersubsidi pada tahun 2013, sebagian besar harga BBM Indonesia masih tetap disubsidi melalui anggaran negara; dengan menggunakan dana yang sebenarnya dapat diinvestasikan dalam pembangunan struktural daripada digunakan untuk konsumsi saja. Sementara itu, permintaan domestik untuk BBM bersubsidi terus meningkat dari tahun ke tahun, dan oleh karena itu Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, dan semua lembaga pemeringkat kredit internasional penting terus menekankan pentingnya untuk menghentikan program subsidi energi itu.
Dibutuhkan seorang presiden yang berpikiran reformasi untuk melakukan itu. Setelah Joko Widodo memenangkan pemilihan presiden 2014 dan diresmikan sebagai presiden ketujuh Indonesia pada Oktober 2014, salah satu langkah pertama yang ia lakukan yaitu menaikkan harga BBM bersubsidi. Efek samping negatifnya adalah laju inflasi negara, yang baru saja mulai pulih menuju target Bank Indonesia sebesar 4,5 persen (setelah kenaikan harga BBM bersubsidi pada 2013), tidak punya waktu untuk pulih lebih lanjut, dan malah berakselerasi lagi menjadi 8,4 persen (y/y) pada akhir 2014. Ini sebuah keputusan yang susah tetapi diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi struktural jangka panjang.
Pada awal tahun 2015, Presiden Jokowi sangat beruntung karena harga minyak global telah turun drastis sejak pertengahan 2014 di tengah permintaan global yang lemah, sementara pasokan minyak kuat karena angka produksi minyak yang tinggi di negara-negara OPEC serta revolusi gas shale AS. Oleh karena itu, Jokowi memutuskan untuk menerapkan kebijakan yang berani. Dia menghapus sebagian besar subsidi premium sementara menetapkan subsidi sebesar Rp 1.000 per liter untuk solar. Juga diterapkan kebijakan baru terkait harga BBM bersubsidi yaitu pemerintah akan menentukan harga premium dan solar setiap kuartal dan harga-harga ini akan berfluktuasi sejalan dengan harga minyak internasional. Namun, karena minyak bumi global pulih secara hati-hati pada paruh pertama tahun 2015, inflasi Indonesia tetap tinggi pada pertengahan 2015 dan baru mulai mereda pada akhir 2015.
Inflasi di Indonesia - Indeks Harga Konsumen
Bulan
Pertumbuhan
       2018
Januari
      0.62%
Februari
      0.17%
Maret
      0.20%
April
      0.10%
Mei
Juni
Juli
Augustus
September
Oktober
November
Desember
Total
    

Bulan
M/M Growth
      2013
M/M Growth
      2014
M/M Growth
      2015
M/M Growth
      2016
M/M Growth
      2017
Januari
     1.03%
     1.07%
    -0.24%
     0.51%
     0.97%
Februari
     0.75%
     0.26%
    -0.36%
    -0.09%
     0.23%
Maret
     0.63%
     0.08%
     0.17%
     0.19%
    -0.02%
April
    -0.10%
    -0.02%
     0.36%
    -0.45%
     0.09%
Mei
    -0.03%
     0.16%
     0.50%
     0.24%
     0.39%
Juni
     1.03%
     0.43%
     0.54%
     0.66%
     0.69%
Juli
     3.29%
     0.93%
     0.93%
     0.69%
     0.22%
Augustus
     1.12%
     0.47%
     0.39%
    -0.02%
    -0.07%
September
    -0.35%
     0.27%
    -0.05%
     0.22%
     0.13%
Oktober
     0.09%
     0.47%
    -0.08%
     0.14%
     0.01%
November
     0.12%
     1.50%
     0.21%
     0.47%
     0.20%
Desember
     0.55%
     2.46%
     0.96%
     0.42%
     0.71%
Total
     8.38%
     8.36%
     3.35%
     3.02%
     3.61%
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)

Inflasi di Indonesia dan Target Bank Indonesia (BI):

2014
2015
2016
2017
2018
2019
Inflasi
(% perubahan tahunan)
 8.4
 3.4
 3.0
 3.6
BI Median Target¹
(% perubahan tahunan)
 4.5
 4.0
 4.0
 4.0
 3.5


2008
2009
2010
2011
2012
2013
Inflasi
(% perubahan tahunan)
 9.8
 4.8
 5.1
 5.4
 4.3
 8.4
BI Median Target¹
(% perubahan tahunan)
 5.0
 4.5
 5.0
 5.0
 4.5
 4.5
¹ disajikan di tabel di atas adalah median dari target inflasi tahunan Bank Indonesia (BI). BI selalu menggunakan margin ±1 persen, maka median 4.0 persen adalah range 3.0 - 5.0 persen
Sumber: Bank Indonesia
Karakteristik tingkat inflasi yang kurang stabil di Indonesia menyebabkan deviasi yang lebih besar dari proyeksi inflasi tahunan oleh Bank Indonesia (dibanding deviasi antara realisasi inflasi dan target bank sentral di negara lain). Akibat dari ketidakjelasan inflasi semacam ini adalah terciptanya biaya-biaya ekonomi, seperti biaya peminjaman yang lebih tinggi di negara ini (domestik dan internasional) dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya. Saat rekam jejak yang baik mengenai mencapai target inflasi tahunan terbentuk, kredibilitas kebijakan moneter yang lebih besar akan mengikutinya. Namun, karena inflasi yang tidak stabil terutama disebabkan oleh penyesuaian harga BBM bersubsidi, kami memprediksi akan terjadi lebih sedikit deviasi antara target awal Bank Indonesia dan realisasi inflasi pada tahun 2018 dan 2019 (apalagi pemerintah telah mengkonfirmasi bahwa harga BBM dan listrik bersubsidi tidak akan direvisi sampai dengan akhir tahun 2019).
Kurangnya kuantitas dan kualitas infrastruktur di Indonesia juga mengakibatkan biaya-biaya ekonomi yang tinggi. Hal ini menghambat konektivitas di negara kepulauan ini dan karenanya meningkatkan biaya transportasi untuk jasa dan produk (sehingga membuat biaya logistik tinggi dan membuat iklim investasi negara ini menjadi kurang menarik). Gangguan distribusi karena isu-isu yang berkaitan dengan infrastruktur sering dilaporkan dan membuat Pemerintah menyadari pentingnya berinvestasi untuk infrastruktur negara ini.
Harga-harga bahan pangan sangat tidak stabil di Indonesia (rentan terhadap kondisi cuaca) dan kemudian meletakkan beban yang besar kepada rumah tangga-rumah tangga yang berada di bawah atau sedikit di atas garis kemiskinan. Rumah tangga-rumah tangga ini menghabiskan lebih dari setengah dari pendapatan yang bisa dibelanjakan mereka untuk makanan, terutama beras. Oleh karena itu, harga-harga makanan yang lebih tinggi menyebabkan inflasi keranjang kemiskinan yang serius yang mungkin meningkatkan persentase penduduk miskin. Panen-panen yang gagal dikombinasikan dengan reaksi lambat dari Pemerintah untuk menggantikan produk-priduk makanan lokal dengan impor adalah penyebab tekanan inflasi.
Inflasi Tahunan Menurut Kelompok (%):
Indikator
2014
2015
2016
2017
Bahan Makanan
10.57
 4.93
 5.69
 1.26
Makanan jadi, minuman,
rokok dan tembakau
 8.11
 6.42
 5.38
 4.10
Perumahan, air, listrik,
gas dan bahan bakar
 7.36
 3.34
 1.90
 5.14
Sandang
 3.08
 3.43
 3.05
 3.92
Kesehatan
 5.71
 5.32
 3.92
 2.99
Pendidikan, rekreasi,
dan olahraga
 4.44
 3.97
 2.73
 3.33
Transportasi, komunikasi,
dan jasa keuangan
12.40
-1.52
-0.72
 4.23
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)
Puncak Inflasi Tradisionil di Indonesia
Bila tidak memperhitungkan penyesuaian harga yang ditetapkan pemerintah, ada dua puncak inflasi tahunan yang biasanya terjadi di Indonesia. Periode Desember-Januari selalu menjadi waktu kenaikan harga-harga karena perayaan-perayaan Natal dan Tahun Baru. Selain itu, banjir yang sering terjadi di bulan Januari (karena puncak musim hujan) menyebabkan gangguan jalur-jalur distribusi di beberapa daerah dan kota, dan karenanya menyebabkan biaya logistik yang lebih tinggi.
Puncak inflasi kedua terjadi di periode Juli-Agustus. Tekanan-tekanan inflasi di kedua bulan ini terjadi sebagai dampak dari masa liburan, bulan suci puasa umat Muslim (Ramadan), perayaan Idul Fitri dan awal tahun ajaran baru. Penting untuk dicatat bahwa periode Ramadan dan Idul Fitri terus bergerak karena tahun kalender Islam 10 hingga 11 hari lebih pendek dari tahun Masehi (matahari). Maka dalam lima tahun ke depan periode Ramadan-Idul Futri ini akan geser ke Mei dan April. Selama puncak inflasi yang kedua ini, peningkatan signifikan terdeteksi dalam pengeluaran untuk barang makanan dan barang konsumen lainnya (seperti pakaian, tas dan sepatu), diikuti dengan tindakan para retailer yang menaikkan harga.
Kebijakan Moneter dan Suku Bunga Acuan Bank Indonesia
Dengan pertumbuhan PDB tahunan naik rata-rata 5 persen (y/y) selama 15 tahun, perekonomian Indonesia berekspansi dengan cepat, dengan karakteristik naiknya permintaan domestik yang kuat (konsumsi domestik berkontribusi untuk sekitar 56 persen dari total pertumbuhan ekonomi negara ini), pertumbuhan kredit sektor swasta yang subur, dan peningkatan akses bisnis untuk kredit.
Terlebih lagi, gaji sektor publik telah meningkat karena reformasi administratif dan pertumbuhan gaji sektor swasta telah berakselerasi (upah minimum regional Indonesia dinaikkan secara signifikan pada tahun 2012-2014). Karena pertumbuhan ekonomi yang subur ini membawa tekanan-tekanan inflasi, kebijakan-kebijakan moneter baru-baru ini (sejak 2013) bertujuan untuk mengamankan stabilitas keuangan negara ini, tertutama setelah inflasi naik akibat reformasi harga BBM bersubsidi pada periode 2013-2015, sementara akhir dari program quantitative easing Federal Reserve (dan ancaman kenaikan suku bunga AS) menyebabkan capital outflows besar-besaran dari negara-negara berkembang (maka menyebabkan pelemahan tajam mata uang negara-negara berkembang), termasuk Indonesia. Apalagi kekhawatiran muncul terkait defisit transaksi berjalan.
Sikap kebijakan moneter Bank Indonesia yang lebih ketat (tercermin dari naiknya suku bunga acuan) pada periode 2013-2014 dilaksanakan dengan mengorbankan laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi bagi Indonesia (di tengah biaya kredit yang lebih tinggi, pertumbuhan kredit turun secara signifikan maka pertumbuhan aktivitas ekonomi menurun). Tetapi layak dipuji bahwa stabilitas keuangan lebih diprioritaskan daripada pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi (namun yang tidak berkelanjutan).
Bank Indonesia (BI) memiliki tujuan utama memastikan kestabilan rupiah. BI menggunakan instrumen-instrumen dalam cakupan luas untuk mengurangi tekanan-tekanan inflasi di negara ini. Kebijakan suku bunga bank disesuaikan ketika target inflasi tidak tercapai. Antara Februari 2012 sampai Juni 2013, suku bunga acuan negara ini (BI rate) telah ditetapkan pada level terendah dalam sejarah pada 5,75 persen. Setelah periode ini, tekanan-tekanan inflasi meningkat karena reformasi harga bahan bakar bersubsidi dan ketidakjelasan global mengenai kebijakan moneter AS. Capital outflows yang mengikutinya mengakibatkan pelemahan nilai tukar rupiah secara tajam. Oleh karena itu, mulai dari pertengahan 2013, Bank Indonesia menyesuaikan BI rate-nya dengan menaikkannya secara bertahap namun agresif dari 5,75 persen menjadi 7,75 persen. Tindakan ini juga membawa kepada penurunan pertumbuhan kredit di Indonesia.
Tindakan lain untuk memperketat kebijakan moneter adalah menaikkan persyaratan simpanan baik untuk deposito mata uang lokal maupun mata yang asing di bank-bank Indonesia. Terakhir, BI mengurangi permintaan para investor asing untuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan memperpanjang periode persyaratan kepemilikan SBI dari satu menjadi enam bulan, memperpanjang waktu jatuh tempo dari SBI yang diterbitkan menjadi 9 bulan dan dengan memperkenalkan deposito-deposito dalam konteks tidak dapat diperdagangkan dengan waktu jatuh tempo lebih panjang (yang hanya tersedia untuk bank-bank). Tindakan-tindakan ini bertujuan untuk memitigasi aliran ‘uang panas’ ke dalam Indonesia.
Mulai dari tahun 2015, waktu kinerja rupiah menjadi stabil, inflasi rendah dan defisit neraca berjalan di bawah kendali, Bank Indonesia dapat melonggarkan kebijakan moneternya dan memulai proses pelonggaran moneter yang agak agresif, tercermin dari suku bunga acuan yang lebih rendah (lihat tabel di bawah). Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan dengan drastis dari 7,75 persen pada awal tahun 2016 menjadi 4,25 persen pada September 2017 (ini juga termasuk perubahan dari BI rate manjadi BI 7-day Reverse Repo Rate sebagai alat benchmark bank sentral).
Namun, meskipun suku bunga lebih rendah, masih tetap ada kekhawatiran tentang lemahnya laju pertumbuhan kredit dan konsumsi rumah tangga di Indonesia.
Suku Bunga Acuan Bank Indonesia (BI) 2008-2017:

2013
2014
2015
2016
2017
Suku Bunga Acuan BI
(% pada akhir tahun)
7.50
7.75
7.50
4.75
4.25


2008
2009
2010
2011
2012
Suku Bunga Acuan BI
(% pada akhir tahun)
9.25
6.50
6.50
6.00
5.75


PERBEDAAN KARAKTERISTIK PASAR INDUSTRI DENGAN PASAR KONSUMEN DAN SIFATNYA

PEMASARAN   INDUSTRI Istilah pemasaran dapat diartikan dalam berbagai konteksa sesuai dengan pemgembangan strategi yang dilakukan perusa...